Perjalanan Mengantar Pengantin
04 12 2009
Siang sepulang sekolah, ibu menyelesaikan persiapan berangkat berombongan mengantar sang pengantin. Mas Dayat, kakak sepupu Ara, putra budhe Purbani dan pakdhe Joko, akan mengakhiri masa lajang dengan menikahi mbak Lini Rachdiani yang tinggal di Desa Bener Purworejo.
Seperti rencana awal, rombongan terdiri dari empat mobil. Mobil pertama, mobil kantor bude Pur berisi pakdhe Rahim dan budhe Ut. Mobil kedua, mobil keluarga, isinya Mas Edi, mbak Vivien, Nabil dan Mas Dayat. Mobil keempat mobil Mas Hanin, calonnya mbak Fikri. Yang terakhir mobil Honda inventaris Siwalan, dengan formasi lengkap, bapak, ibu, eyang dan Ara.
Jam 15.00 rombongan mulai melaju. Lewat HP kami berkoordinasi. Rute diputuskan lewat jalur Sala - Jogja - Muntilan - Borobudur - Purworejo. Rute ini dianggap lebih longgar daripada rute Sala - Jogja - Wates - Purworejo.
Perjalanan lancar, hanya sedikit macet di lingkar luar Jogja, selebihnya mobil bisa meluncur dengan sempurna. Sekitar jam 19.00 rombongan masuk hotel Bagelen di jalan A Yani, kira-kira 300 meter dari Alun-alun kota Purworejo.
Hotel tua, kelebihannya adalah letaknya yang relatif strategis. Kamarnya cenderung kusam dan jorok. Tapi lumayanlah, untuk mengaso barang 3 jam. Apalagi untuk rombongan besar macam saat ini.
Di hotel itu, Ara tidak bisa cepat tidur. Disamping hawa yang panas, kamar yang kurang bersih, kasur yang keras, suasanya juga tidak terlalu nyaman. Maka bapak mengajak Ara dan ibu untuk jalan-jalan di alun-alun.
Alun-alun Purworejo terkesan tak aman. Disudut-sudut gelap, beberapa remaja tanggung saling berpelukan. Beberapa wanita muda itu duduk sambil merokok. Padahal jam belum terlalu malam.
Suasana seperti ini selalu membuat ibu merasa tak nyaman. Ingin rasanya segera pergi tapi ke hotel pun tidak membuat badan hilang penat. Jadi kami memutuskan untuk masuk ke lingkungan kabupaten, dan duduk di kursi porselein yang dingin.
Capai dengan keheningan yang kering, maka ibu memaksa Ara untuk pulang ke hotel. Baru setengah jalan, hujan mengguyur semakin lebat. Bapak nekad menggendong Ara dalam guyuran hujan yang keras. Teriakan ibu tidak didengar oleh anak dan bapak. Mereka asyik tertawa terbahak-bahak mentertawakan air yang menetes disela-sela rambut dan ketiak. Tuhan...... tidakkah mereka tahu bahwa hujan bisa membawa demam dan flu buat tubuh kita. Tapi suara kecil berteriak di lubuk hati "Percayalah, jika kamu percaya, mereka tidak akan sakit...."
Dan doa itu manjur, meskipun ternyata dalam doa terlupa menyebut diri sendiri. Maka sesampai di hotel segelas teh hangat dan Antangin segera didorong kedalam perut untuk melawan masuk angin.
Sampai jam 11 malam, Ara tak juga tidur. Buntutnya dia berbisik lirih di telinga ibu yang mulai mengantuk.
"ibu.... aku lapar dan panas..."
blaik.... semua lauk yang kutawarkan tidak ada yang disetujui...
"kalau gitu jalan-jalan lagi aja, bu.... naik mobil..."
welhadalah.... anak ini. Selarut ini? Bapaknya sudah tak kuat melek. Tinggal eyang yang masih sama tak bisa tidurnya dengan ibu. Jadi.... ayolah bu... tinggalkan rasa malas. Ambil kunci dan putar2 kan anakmu.... desak hati kecil ini.
Mobil meluncur lagi ke alun-alun kota. Suasana masih sama. Beberapa warung kecil berjejer, menawarkan makanan yang tidak membangkitkan selera. Bakso, Mie Ayam, Lele Goreng, Ikan Bakar. Satu-satunya yang menimbulkan rasa ingin tahu adalah Rica-rica Entog. Tapi lupakan saja, kalau tidak mau diamuk si ratu kecil, karena pesan makanan berasa libasan pedang.
Tiga kali memutar mobil di lingkaran terluar alun-alun, ibu memaksa Ara agar mau pulang ke hotel. Matanya masih sebesar biji jengkol. Tidak ada aroma mengantuk sedikitpun. Memasuki gerbang hotel, rupanya tenda penjual sea food yang sesore tampak ramai sudah menjadi sepi. Maka ibu memutuskan untuk memesan sepiring bakmi goreng seafood (khusus cumi). Harganya murah sekali, cuma sembilan ribu rupiah, kita bisa mendapatkan sepiring bakmi goreng hangat dengan taburan cumi yang kaya.
Alhamdulillah, Ara makan dengan lahap. Separo porsi selesai berpindah tempat, Ara mulai menunjukkan wajah mengantuk (ini lebih mudah ditirukan daripada ketika Ara minta ditunjukkan bagaimana wajah tidak punya uang....).
Rencana berikutnya, bagaimana membuat ibu dan eyang tidur agar jam 6 pagi besok sanggul dan kebaya sudah siap diajak berpesta....
Walahgubraxxxxx..... ternyata sudah jam 2 pagi. Kami cuma punya waktu 2 jam untuk memejamkan mata.
Selamat bobok.... sempat mimpi tidak ya...
Siang sepulang sekolah, ibu menyelesaikan persiapan berangkat berombongan mengantar sang pengantin. Mas Dayat, kakak sepupu Ara, putra budhe Purbani dan pakdhe Joko, akan mengakhiri masa lajang dengan menikahi mbak Lini Rachdiani yang tinggal di Desa Bener Purworejo.
Seperti rencana awal, rombongan terdiri dari empat mobil. Mobil pertama, mobil kantor bude Pur berisi pakdhe Rahim dan budhe Ut. Mobil kedua, mobil keluarga, isinya Mas Edi, mbak Vivien, Nabil dan Mas Dayat. Mobil keempat mobil Mas Hanin, calonnya mbak Fikri. Yang terakhir mobil Honda inventaris Siwalan, dengan formasi lengkap, bapak, ibu, eyang dan Ara.
Jam 15.00 rombongan mulai melaju. Lewat HP kami berkoordinasi. Rute diputuskan lewat jalur Sala - Jogja - Muntilan - Borobudur - Purworejo. Rute ini dianggap lebih longgar daripada rute Sala - Jogja - Wates - Purworejo.
Perjalanan lancar, hanya sedikit macet di lingkar luar Jogja, selebihnya mobil bisa meluncur dengan sempurna. Sekitar jam 19.00 rombongan masuk hotel Bagelen di jalan A Yani, kira-kira 300 meter dari Alun-alun kota Purworejo.
Hotel tua, kelebihannya adalah letaknya yang relatif strategis. Kamarnya cenderung kusam dan jorok. Tapi lumayanlah, untuk mengaso barang 3 jam. Apalagi untuk rombongan besar macam saat ini.
Di hotel itu, Ara tidak bisa cepat tidur. Disamping hawa yang panas, kamar yang kurang bersih, kasur yang keras, suasanya juga tidak terlalu nyaman. Maka bapak mengajak Ara dan ibu untuk jalan-jalan di alun-alun.
Alun-alun Purworejo terkesan tak aman. Disudut-sudut gelap, beberapa remaja tanggung saling berpelukan. Beberapa wanita muda itu duduk sambil merokok. Padahal jam belum terlalu malam.
Suasana seperti ini selalu membuat ibu merasa tak nyaman. Ingin rasanya segera pergi tapi ke hotel pun tidak membuat badan hilang penat. Jadi kami memutuskan untuk masuk ke lingkungan kabupaten, dan duduk di kursi porselein yang dingin.
Capai dengan keheningan yang kering, maka ibu memaksa Ara untuk pulang ke hotel. Baru setengah jalan, hujan mengguyur semakin lebat. Bapak nekad menggendong Ara dalam guyuran hujan yang keras. Teriakan ibu tidak didengar oleh anak dan bapak. Mereka asyik tertawa terbahak-bahak mentertawakan air yang menetes disela-sela rambut dan ketiak. Tuhan...... tidakkah mereka tahu bahwa hujan bisa membawa demam dan flu buat tubuh kita. Tapi suara kecil berteriak di lubuk hati "Percayalah, jika kamu percaya, mereka tidak akan sakit...."
Dan doa itu manjur, meskipun ternyata dalam doa terlupa menyebut diri sendiri. Maka sesampai di hotel segelas teh hangat dan Antangin segera didorong kedalam perut untuk melawan masuk angin.
Sampai jam 11 malam, Ara tak juga tidur. Buntutnya dia berbisik lirih di telinga ibu yang mulai mengantuk.
"ibu.... aku lapar dan panas..."
blaik.... semua lauk yang kutawarkan tidak ada yang disetujui...
"kalau gitu jalan-jalan lagi aja, bu.... naik mobil..."
welhadalah.... anak ini. Selarut ini? Bapaknya sudah tak kuat melek. Tinggal eyang yang masih sama tak bisa tidurnya dengan ibu. Jadi.... ayolah bu... tinggalkan rasa malas. Ambil kunci dan putar2 kan anakmu.... desak hati kecil ini.
Mobil meluncur lagi ke alun-alun kota. Suasana masih sama. Beberapa warung kecil berjejer, menawarkan makanan yang tidak membangkitkan selera. Bakso, Mie Ayam, Lele Goreng, Ikan Bakar. Satu-satunya yang menimbulkan rasa ingin tahu adalah Rica-rica Entog. Tapi lupakan saja, kalau tidak mau diamuk si ratu kecil, karena pesan makanan berasa libasan pedang.
Tiga kali memutar mobil di lingkaran terluar alun-alun, ibu memaksa Ara agar mau pulang ke hotel. Matanya masih sebesar biji jengkol. Tidak ada aroma mengantuk sedikitpun. Memasuki gerbang hotel, rupanya tenda penjual sea food yang sesore tampak ramai sudah menjadi sepi. Maka ibu memutuskan untuk memesan sepiring bakmi goreng seafood (khusus cumi). Harganya murah sekali, cuma sembilan ribu rupiah, kita bisa mendapatkan sepiring bakmi goreng hangat dengan taburan cumi yang kaya.
Alhamdulillah, Ara makan dengan lahap. Separo porsi selesai berpindah tempat, Ara mulai menunjukkan wajah mengantuk (ini lebih mudah ditirukan daripada ketika Ara minta ditunjukkan bagaimana wajah tidak punya uang....).
Rencana berikutnya, bagaimana membuat ibu dan eyang tidur agar jam 6 pagi besok sanggul dan kebaya sudah siap diajak berpesta....
Walahgubraxxxxx..... ternyata sudah jam 2 pagi. Kami cuma punya waktu 2 jam untuk memejamkan mata.
Selamat bobok.... sempat mimpi tidak ya...
Komentar