Coffe Eva Bedono Ambarawa



Belokan Losari lewat sudah... sambil berdoa suatu saat diberi kesempatan bisa menginap disana, kami meneruskan perjalanan. Ara mulai rewel sambil berbisik bisik pelan...

”Ibu sini... sini... tak bisikin...” tanganya menggapai telinga ibu

”Aku mau makan.....”, ibu melirik jam di tangan sang bapak, jam dua lewat setengah jam. Waktu makan siang sudah lewat, tapi bukankah semangkuk baso, segelas es puter puding, sepiring capcay sayur sudah meluncur ke perut nya? Ara Cuma meringis ketika diingatkan.

Tapi hawa dingin, didalam kotak besi ber AC yang diguyur hujan tak henti-henti sejak dari Magelang memang membuat perut keroncongan. Menyesal tadi tak jadi mendrive sang bapak untuk belok di resto ayam dan bebek yang keliatan laris selepas Magelang. Teringat warung mangut, yang parkirnya penuh oleh mobil dan motor menjelang Borobudur dari arah Purworejo (tunggu kedatanganku suatu hari nanti rung........).

Ara mulai gelisah dalam lapar. Sang bapak mulai gelisah karena hujan menderas, dan eyang masih tertidur di atas bantal besar di jok belakang. Tiba-tiba papan di pinggir jalan menunjukkan tulisan ”Banaran 1, 500 meter kedepan.....” Hah, Alhamdulillah.... ada pilihan...

Jalan sedikit meramai, lalu papan kedua ”Banaran 1 , 200 meter kedepan....”

Ibu mulai mendesis pelan...

”Banaran, pak... ”, lupa kalau sang bapak tidak bisa diajak berbisik cinta.

Tiba-tiba lalu lintas menjadi ruwet kembali, dan pintu masuk kafe Banaran persis di sisi kiri.

”Yah.... pintunya kelewatan....”

Bapak mulai merengut, lalu mendesis...

” Aku kan belum pernah lewat sini, kalau mau berhenti bilang dulu.... ” Lah, bukannya dari setengah kilo tadi ibu sudah mendesis-desis dan Ara sudah berbisik-bisik keras... Halah... si Bapak kumaha euy......

Duh, Ambarawa masih lumayan lama. Pecel Kutha-Kuthi yang diceritakan tante Haley pasti sudah tutup warungnya. Jalur Magelang, Secang, Temanggung, Bedono, Ambarawa bukan hafalan kami. Jadi... sanggupkah kami menahan lapar ini. Padahal hujan makin mengguyur seperti ditumpahkan dari langit, pemandangan begitu indah di sisi kiri, kaca mobil yang cacat karena pernah dipoles semakin membuat suasana sedikit ”spooky”...

Mobil berjalan makin pelan, gerutu bapak menyertai... tiba-tiba disalah satu tikungan, diatas sebidang tanah luas, sebuah plang buram menyembul sekilas.

”Eyang... Kopi Eva, kangen ya.....” desis ibu. Eyang menengok cepat, menghela nafas.

”Heeh..... dah lama....” Bapak menginjak rem pelan.

”Mau mampir? Aku juga tidak berani menembus hujan....” Ragu-ragu ibu mengangguk. Tiba-tiba teringat celoteh mbak Yo –suster eyang Prabu- tentang tahu seharga 15 ribu dan kopi seharga 35 ribu....

” Ya sudahlah.... paling tidak Ara bisa makan duluan.....”

Mobil diparkir. Kami turun. Resto itu terkesan tua tapi masih gagah. Suasananya agak muram, tapi mengingatkan kami pada suasana tempo dulu.

Kami memilih meja rendah dengan sofa kuno didepan TV layar datar (satu-satunya benda yang relatif paling modern di ruangan itu). Seorang pelayan membagi buku menu lebar berwarna biru muda. Buku yang juga sudah agak kusam.

Pelan-pelan ibu menyusuri daftar harga yang ada. Sedikit lega karena ternyata kopi masih seharga 5 ribu rupiah saja. Bapak mulai menjauh dari arena. Mengajak Ara menjelajah ruangan, menikmati tetes hujan dan suasana yang sungguh *berani sumpah!!!! nyaman dan menimbulkan rasa rindu pada masa lalu...

Gudeg Manggar 50 ribu, kalau dibawa pulang 350 ribu per kilogram

Sup Buntut 45 ribu, Buntut Goreng 55 ribu. Ayam goreng utuh 60 ribu, ayam sepotong 30 ribu.

”Ara mau apa..” tanya ibu.

”Ayam goreng....” Ara berkata pasti.

”Sup aja ya...” Ara menggeleng... semakin pasti

Singkat cerita kami pun memesan 1 potong ayam goreng, 1 mangkuk sup buntut (takut ternyata Ara ganti meminta yang lain...), 1 es kopi dan 1 teh tawar. Eyang menolak minum. Dingin takut pipis terus....

Pesanan kami serahkan ke pelayan. Sambil mengambilnya, pelayan berbisik pada ibu,

”Bu, pisangnya harus dibayar sesisir.” Sebentar ibu merasa tersinggung, tapi lalu bersyukur karena sudah diingatkan. Di punggung pisang, tertempel stiker bertuliskan. Pisang mas 25 ribu.... Wessssss.......

Meja dipenuhi sepiring tahu (intip di menu seharga 15 ribu untuk lima tahu), sepiring lemper (tak ada harga), 5 buah telur asin dan piring kecil.

Dua meja di sebelah terisi sekelompok besar karyawan. Mereka hanya memesan kopi dan susu masing-masing segelas. Tidak ada yang makan besar.

Sedihnya jika keuangan sedang tidak beres. Tidak seperti biasanya, kami selalu bertanya pada pelayan, apa yang paling dibanggakan dari restoran itu. Kali ini kami menunggu pesanan dengan hati sedikit berdebar....

Tidak berapa lama pesanan diantar....

Ternyata harga yang ditawarkan sebanding dengan barang.

Semangkuk cukup besar sup buntut dengan lima potongan besar buntut sapi tebal berdaging, beberapa potong wortel diguyur kaldu dengan potongan daun bawang. Harum, dengan seujung sendok ibu mencicip. Enak, mlekoh kata pak Bondan. Kaldu yang kaya tapi nggak ”ngendhal”.

Lalu sepiring ayam goreng (setengah dada menthok *untuk non jawa menthok adalah bagian dada lengkap dengan sayapnya), tiga iris mentimun, tiga iris tomat, daun slada dan sepiring kecil sambal yang mak nyus.....

Ini menu yang pas untuk berempat. Jadi kekhawatiran kami tidak beralasan. Es kopi berwarna hitam, juga berbau harum khas kopi tradisional, sayangnya terlalu banyak gula didalamnya. Satu yang tidak pas buat seorang yang hobi ”wedangan” adalah teh nya yang sedikit apek.

Dalam syukur, kami makan berempat. Ara lahap sekali. Seperti sudah diduga, dia lebih memilih sup kaldu dengan buntut terbesar dan semua wortel yang ada di mangkuk.

Entah kami yang terlalu hati-hati, atau porsi sup yang memang besar. Masih tersisa dua potong dan sedikit kaldu untuk dibawa pulang (pesan untuk para mama : jangan lupa bawa tupperware kemana-mana. Andalan jika makanan kita tersisa...)

Perut kenyang, hujan mereda, total kerusakan 97 k. Kami memulai etape ke tiga....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seluk Beluk Kesulitan Belajar Pada Anak

Di Hyang

Baju Bodo Angelica