Drawing Versus Coloring
Ini bukan pengalaman Ara, tapi pengalaman Entong anaknya bu Julia .
Cerita ini meyakinkan saya, untuk terus mempertahankan cara saya mendidik Ara, bukan hasil yang utama tapi proses menuju hasil tersebut....
Waktu kecil Entong senang sekali menggambar. Sangat realis, tapi setelah usia diatas 5 tahun juga sering menghayal.
Kalau perfeksionisnya kumat nggambarnya gak mau ngikutin sekolah. Misalnya semua anak diajar menggambar rumah, genteng segitiga, diatas segi empat.Maksudnya pengenalan bentuk. Dia ngotot rumah itu kayak yang dia liat, yaitu rumah di depan ini, gentengnya trapesium. Ya gurunya pusing karena trapesium itu tiga dimensi yang belum diajarkan ke anak-anak. Saking keselnya dia bikin rumah bekicot melulu. Katanya itu rumah juga. Jadi sedinding penuh gambar rumah punya anak-anak, di tengah ada bekicot. Apa aku gak diketawain ibu2 lain? Gurunya sih penuh pengertian. Tapi orang lain gak ngerti.
Saat sudah kelas 3-an gitu (grup lima). Ada parade menggambar. Themanya Pulau Impian. Jadi anak-anak pada menggambar pulau penuh tetek bengek ada prosotan, ada enjot-enjotan, rollercoaster, dll dll...rameee. .. banget. Di laut ada kapal. Itu kertas gedenya segede kertas manila. Giliran punya Entong pulau gede, cuma ada sebuah garis kecil di pinggir pulau dengan 2 titik. Katanya itulah enjot-enjotan dg orangnya. Lalu di tengah cuma diwarnai kehitaman, nah itu katanya hutan dan gunungnya. Lalu di pinggir laut ada titik titik dan garis-garis kecil katanya kapal-kapalnya. Jadi yang dia pikir ngeliat pulau itu dari kapal terbang, ya kayak gitu... Akibatnya dia jadi bahan tertawaan anak-anak. Kesian banget.
Suatu kali musti menggambar kebon binatang. Anak lain bikin kandang isinya segala macam binatang, ada kucing, anjing, kuda, monyet, ayam, macan, jadi satu di dalam kandang.... Dia marah-marah, temen-temennya salah. Dia bikin isinya cuma monyet aja. Jadi debatan dengan teman-temannya. Sebab jerapah pun gak di dalam kandang katanya.
Saat play grup memang gak mau menggambar. Saat dia sudah punya perkembangan tiga dimensi, di usia tiga tahun, gambarnya memang konstruktif. Dia gak bisa menggambar kalau dikasih tema. Dia hanya bisa menggambar apa yang dia lihat, maklum anak visual learner.
Suatu kali musti mewarnai beruang. Dia cuma bikin plester di kepalanya, kebetulan dia abis kejedut- luka diplesterin. Trs ditinggal lari.
Anak lain asyiek ,menggambar dengan warna, dia cuma bikin bulat, ditinggal lari. Katanya sudah kelar. Itu bola.
Kalau bikin rumah bentuknya sketsa pakai satu garis langsung melungker2 jadi gambar. Cara dia menggambar selalu sketsa begitu. Saat umur 4 dites oleh dokter anak, anak lain bikin gambar themanya popetje yaitu boneka persis kayak yang diajarin oleh sekolah, yaitu orang-orangan sawah tangan dan rambutnya njabrik. Dia nggambar sketsa boneka beruangnya yang kita kasih nama popetje.
Jadi anak visual learner kalau masih kecil menurutku, saat imajinasi belum sekuat perfeksionisme, menggambarnya selalu dengan konsepnya sendiri, dengan thema-thema yang dia kembangkan dari apa yang dia liat.
Sedang mewarnai adalah pekerjaan yang gak pakai konsep dan gak pakai mewujudkan hasil registrasi melalui matanya dari apa yang pernah dilihatnya. Lagipula mewarnai itu cuma pekerjaan yang sekuensial. Perkembangan anak visual learner adalah perkermbangan yang simultan. Maka kalau disuruh mewarnai menurutku saat balita selain dia gak ngerti - gak tertarik, juga buat dia membingungkan. Terbalik dengan anak-anak lain, justru lebih tertarik mewarnai. Lagipula si anak visual learner yang sangat perfeksionist ini mewarnai justru membuatnya frustrasi, karena pasti akan gak sama dengan contoh pabrik. Motorik halusnya yang lemah, gambarnya malah menceng2.
Nanti saat belahan otak yang mengatur pekerjaan yang berurutan sudah berkembang baik, dia akan keranjingan meewarnai juga. Si Entong saat itu sudah hampir 9 tahun. Ada lomba mewarnai di Alkmaar. Anak-anak sampai usia 10 tahun. Tapi punya dia didiskualifikasi karena dianggap dibuatkan orang tuanya. Karena terlalu baik, terlalu rapih, terlalu realis. Warnanya sesuai dengan realita. Jadi model begitu bukan model perkembangan anak normal, yang ramai dan meriah. Semakin ramai dan meriah semakin kreatif (anggapan umum padahal gak ada konsep).
Sekarang dia sedang dibimbing oleh orthopedagog, soal menggambar ini jadi bahan pengamatannya juga. Dulu dia mau menggambar macam-macam, sekarang sangat alergi kalau harus menggambar bebas. Itu karena dia selalu diketawain oleh lingkungan. Dan dia selalu diminta menggambar mengikuti pola umum, yang dia gak ngerti....
Sekarang dia sudah bisa kuajak diskusi. Dia sudah niat mau menggambar lagi. Kayak dia kalau harus belajar pelajaran yang kayak PKn di Indonesia. Dia jengkel banget kenapa ada pelajaran kok segala macam agama yang menurutnya menggelikan, musti dihapalin pula, ya angkanya 5 melulu. Saat kuajarin bagaimana kita harus melihat manusia dengan segala budayanya, kita jangan memberi penilaian pada kelakukan manusia. Kita jadi penontonnya, pasti mengasyikkan. Mengapa orang bisa sampai punya kelakuan seperti itu, pasti di belakangnya mereka punya konsepnya. Akhirnya dia mulai demen juga, malah ketagihan. Karena bisa dapat 8.
Artinya dengan sendirinya anak-anak yang pola perkembangannya beda gini kalau ditanding-tandingin , dan diukur pakai pola normal, ya gak bakal menang....kepiye sih.... UAN aja gak lulus, gimana tuh kayak anakku...Yang inteligensinya jauh di bawahnya malah pada lulus....Cape ah, kalau mbanding-mbandingin ....
Julia
Cerita ini meyakinkan saya, untuk terus mempertahankan cara saya mendidik Ara, bukan hasil yang utama tapi proses menuju hasil tersebut....
Waktu kecil Entong senang sekali menggambar. Sangat realis, tapi setelah usia diatas 5 tahun juga sering menghayal.
Kalau perfeksionisnya kumat nggambarnya gak mau ngikutin sekolah. Misalnya semua anak diajar menggambar rumah, genteng segitiga, diatas segi empat.Maksudnya pengenalan bentuk. Dia ngotot rumah itu kayak yang dia liat, yaitu rumah di depan ini, gentengnya trapesium. Ya gurunya pusing karena trapesium itu tiga dimensi yang belum diajarkan ke anak-anak. Saking keselnya dia bikin rumah bekicot melulu. Katanya itu rumah juga. Jadi sedinding penuh gambar rumah punya anak-anak, di tengah ada bekicot. Apa aku gak diketawain ibu2 lain? Gurunya sih penuh pengertian. Tapi orang lain gak ngerti.
Saat sudah kelas 3-an gitu (grup lima). Ada parade menggambar. Themanya Pulau Impian. Jadi anak-anak pada menggambar pulau penuh tetek bengek ada prosotan, ada enjot-enjotan, rollercoaster, dll dll...rameee. .. banget. Di laut ada kapal. Itu kertas gedenya segede kertas manila. Giliran punya Entong pulau gede, cuma ada sebuah garis kecil di pinggir pulau dengan 2 titik. Katanya itulah enjot-enjotan dg orangnya. Lalu di tengah cuma diwarnai kehitaman, nah itu katanya hutan dan gunungnya. Lalu di pinggir laut ada titik titik dan garis-garis kecil katanya kapal-kapalnya. Jadi yang dia pikir ngeliat pulau itu dari kapal terbang, ya kayak gitu... Akibatnya dia jadi bahan tertawaan anak-anak. Kesian banget.
Suatu kali musti menggambar kebon binatang. Anak lain bikin kandang isinya segala macam binatang, ada kucing, anjing, kuda, monyet, ayam, macan, jadi satu di dalam kandang.... Dia marah-marah, temen-temennya salah. Dia bikin isinya cuma monyet aja. Jadi debatan dengan teman-temannya. Sebab jerapah pun gak di dalam kandang katanya.
Saat play grup memang gak mau menggambar. Saat dia sudah punya perkembangan tiga dimensi, di usia tiga tahun, gambarnya memang konstruktif. Dia gak bisa menggambar kalau dikasih tema. Dia hanya bisa menggambar apa yang dia lihat, maklum anak visual learner.
Suatu kali musti mewarnai beruang. Dia cuma bikin plester di kepalanya, kebetulan dia abis kejedut- luka diplesterin. Trs ditinggal lari.
Anak lain asyiek ,menggambar dengan warna, dia cuma bikin bulat, ditinggal lari. Katanya sudah kelar. Itu bola.
Kalau bikin rumah bentuknya sketsa pakai satu garis langsung melungker2 jadi gambar. Cara dia menggambar selalu sketsa begitu. Saat umur 4 dites oleh dokter anak, anak lain bikin gambar themanya popetje yaitu boneka persis kayak yang diajarin oleh sekolah, yaitu orang-orangan sawah tangan dan rambutnya njabrik. Dia nggambar sketsa boneka beruangnya yang kita kasih nama popetje.
Jadi anak visual learner kalau masih kecil menurutku, saat imajinasi belum sekuat perfeksionisme, menggambarnya selalu dengan konsepnya sendiri, dengan thema-thema yang dia kembangkan dari apa yang dia liat.
Sedang mewarnai adalah pekerjaan yang gak pakai konsep dan gak pakai mewujudkan hasil registrasi melalui matanya dari apa yang pernah dilihatnya. Lagipula mewarnai itu cuma pekerjaan yang sekuensial. Perkembangan anak visual learner adalah perkermbangan yang simultan. Maka kalau disuruh mewarnai menurutku saat balita selain dia gak ngerti - gak tertarik, juga buat dia membingungkan. Terbalik dengan anak-anak lain, justru lebih tertarik mewarnai. Lagipula si anak visual learner yang sangat perfeksionist ini mewarnai justru membuatnya frustrasi, karena pasti akan gak sama dengan contoh pabrik. Motorik halusnya yang lemah, gambarnya malah menceng2.
Nanti saat belahan otak yang mengatur pekerjaan yang berurutan sudah berkembang baik, dia akan keranjingan meewarnai juga. Si Entong saat itu sudah hampir 9 tahun. Ada lomba mewarnai di Alkmaar. Anak-anak sampai usia 10 tahun. Tapi punya dia didiskualifikasi karena dianggap dibuatkan orang tuanya. Karena terlalu baik, terlalu rapih, terlalu realis. Warnanya sesuai dengan realita. Jadi model begitu bukan model perkembangan anak normal, yang ramai dan meriah. Semakin ramai dan meriah semakin kreatif (anggapan umum padahal gak ada konsep).
Sekarang dia sedang dibimbing oleh orthopedagog, soal menggambar ini jadi bahan pengamatannya juga. Dulu dia mau menggambar macam-macam, sekarang sangat alergi kalau harus menggambar bebas. Itu karena dia selalu diketawain oleh lingkungan. Dan dia selalu diminta menggambar mengikuti pola umum, yang dia gak ngerti....
Sekarang dia sudah bisa kuajak diskusi. Dia sudah niat mau menggambar lagi. Kayak dia kalau harus belajar pelajaran yang kayak PKn di Indonesia. Dia jengkel banget kenapa ada pelajaran kok segala macam agama yang menurutnya menggelikan, musti dihapalin pula, ya angkanya 5 melulu. Saat kuajarin bagaimana kita harus melihat manusia dengan segala budayanya, kita jangan memberi penilaian pada kelakukan manusia. Kita jadi penontonnya, pasti mengasyikkan. Mengapa orang bisa sampai punya kelakuan seperti itu, pasti di belakangnya mereka punya konsepnya. Akhirnya dia mulai demen juga, malah ketagihan. Karena bisa dapat 8.
Artinya dengan sendirinya anak-anak yang pola perkembangannya beda gini kalau ditanding-tandingin , dan diukur pakai pola normal, ya gak bakal menang....kepiye sih.... UAN aja gak lulus, gimana tuh kayak anakku...Yang inteligensinya jauh di bawahnya malah pada lulus....Cape ah, kalau mbanding-mbandingin ....
Julia
Komentar